Buku Max Havelaar (atau The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company) adalah sebuah roman satir Belanda yang diterbitkan pada 14 Mei 1860. Buku ini ditulis oleh Eduard Douwes Dekker, seorang mantan perwira kolonial di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) , dan secara gamblang menggambarkan kemunafikan dan eksploitasi perdagangan kopi yang korup dan rezim kolonial.
Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Douwes Dekker yang pada tahun 1856 ditugaskan di Lebak, Banten. Selama bekerja di sana, ia melihat praktik kolonialisme dan feodalisme serta eksploitasi yang meluas terhadap masyarakat setempat. Sebagai bentuk protes, Douwes Dekker mengundurkan diri sebagai perwira kolonial, dan kembali ke Belanda.
Menantang pemerintahan kolonial
Pada tahun 1859, Dekker menulis Max Havelaar dari kosnya di Brussel, Belgia. Sebulan setelah publikasinya, Max Havelaar menyebabkan sebuah 'pergolakan' di seluruh Belanda. Orang-orang dari seluruh negeri membacanya yang menimbulkan banyak perdebatan di sekolah-sekolah, rumah-rumah, dan universitas-universitas tentang pemerintahan kolonial.
Buku ini berpengaruh di luar Hindia Belanda dan membantu mengobarkan gerakan anti-kolonial, dan telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Versi bahasa Inggris dari buku tersebut diterjemahkan pada tahun 1927 oleh Willem Siebenhaar, seorang aktivis sosial dan penulis dari Australia Barat. Buku yang ditampilkan dalam pameran online ini merupakan edisi pertama yang langka dari terjemahan bahasa Prancis, yang berasal dari tahun 1876.
Tokoh nasionalis Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ahmad Soebardjo dan Kartini membaca Max Havelaar dan terinspirasi untuk bergabung dengan gerakan anti kolonial. Pada tahun 1999, penulis terkemuka Indonesia Pramoedya Ananta Toer menyebut Max Havelaar sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”.
Untuk membaca Max Havelaar:
Hendra Permana, kurator di Museum Multatuli, menceritakan arti penting dari edisi perdana Max Havelaar ini.