Pada tahun 1977, ahli geografi Yi-Fu Tuan berpendapat bahwa museum 'sepenuhnya terdiri dari objek yang dipindahkan', di mana satu-satunya kesamaan objek adalah bahwa mereka pada awalnya tidak dirancang untuk berada di museum. Bagaimana objek bisa ada di koleksi kita? Dari mana mereka berasal? Seringkali label museum memberi tahu kita detail spesifik tentang objek, siapa yang membuatnya dan kapan, tetapi tidak mengenai bagaimana ia dapat menjadi bagian dari koleksi. Beberapa objek berpindah secara ekstensif, termasuk melintasi batas negara, menciptakan makna baru di sepanjang jalan. Dibuat pada tahun 1625 untuk Portugis, Meriam Si Jagur ‘berkelana’ dari Makau ke Malaka lalu ke Batavia (sekarang Jakarta). Sejak itu, ia telah menjadi koleksi tiga museum berbeda di Jakarta. Bebatuan dari kapal karam Batavia adalah contoh lain yang menggambarkan fenomena ini. Batu-batu tersebut berasal dari Jerman, dikirim dengan kapal Belanda, dan berakhir karam di Samudra Hindia. Sekarang, lebih dari 300 tahun kemudian, ia berada di Western Australian Museum di mana signifikansinya dibingkai oleh koneksi Belandanya. Objek ini memberikan kesempatan untuk tidak hanya mengeksplorasi peninggalan kolonial yang dimiliki bersama oleh Indonesia dan Australia, tetapi juga merupakan 'pintu gerbang' bagi perspektif baru Indonesia tentang narasi Eropa yang sudah mapan.
Objek lain mencerminkan bagaimana ide bisa berpindah, seperti batik Yirrkala sebuah interpretasi atas lukisan kulit kayu yang dibuat oleh seniman bernama Ronald Nawurapu Wununmurra. Karyanya terinspirasi oleh lagu-lagu tradisional Yolngu yang menceritakan kisah pelaut Makassar (Bugis) mengunjungi Arnhem Land. Begitu pula dengan koin dari Tiongkok dalam koleksi Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang ditemukan dalam penggalian arkeologi. Koin ini menggambarkan pentingnya Banten sebagai pusat perdagangan sejak abad ke-7.